Kamis, 22 Desember 2011

OM HANUNG.....


TANDA TANYA

HANUNG Bramantyo sepertinya sedang beranjak menjadi sutradara film relijius. Seingat saya ada Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan terakhir Sang Pencerah, semuanya bertemakan religi. Salah? Tentu tidak karena kekuatan Hanung dalam membuat film religi, walaupun berbasis agama tertentu, bisa diterima oleh semua kalangan. Kedalaman cerita, pesan dan universalitas nilai agama serta kemampuan untuk menyajikan persoalan tanpa kesan menggurui menjadi poin plus Hanung yang bahkan membuat umat agama lain tak keberatan ikut menikmati film-filmnya.

Kali ini lewat Tanda Tanya (judul asli ‘?’, namun untuk lebih mudah untuk dituturkan saya tulis ‘Tanda Tanya’ -red) walaupun masih bertemakan religi, Hanung mulai naik tingkat lagi dengan tidak hanya memberikan kisah berbasis agama Islam saja. Ada 3 agama yang dituturkan disini: Islam, Kristen dan Kong Hu Chu. Dengan bertemakan toleransi kisah ini berceritakan tentang 3 keluarga yang berbeda di satu lingkungan di Semarang. Mereka adalah keluarga Tan Kat Sun (Hengky Sulaiman) yang Kong Hu Chu, keluarga Soleh (Reza Rahardian) dan Menuk (Revalina S. Temat) yang Islam serta Rika (Endhita) yang Katholik.


Tan Kat Sun mempunyai usaha restoran China. Dia sangat toleran terhadap perbedaan agama para karyawannya, termasuk Menuk. Toleransinya itu juga termasuk dengan memisahkan segala proses masak dan penyajian makanan yang mengandung babi. Tan Kat Sun ini punya anak bernama Hendra (Rio Dewanto) yang ternyata dulu mantan pacar Menuk. Mereka putus karena perbedaan agama. Karena Menuk dan Hendra cukup sering bertemu, Soleh suami Menuk sering cemburu. Apalagi kondisi Soleh yang pengangguran membuatnya sering merasa rendah diri di hadapan Menuk. Percecokan diantara pasangan itu menjadi sangat sering terjadi. Menuk mempunyai sahabat bernama Rika, janda yang dicerai gara-gara suaminya berpoligami. Peceraian itu sedikit banyak mengakibatkan Menuk pindah agama menjadi Katholik. Anaknya yang masih SD tidak terima dengan keputusan ibunya itu yang akhirnya juga sering menimbulkan konflik ringan ibu-anak. Konflik yang lebih berat justru pada resistensi lingkungan atas keputusan pindah agamanya itu. Beruntung ada Surya (Agus Kuncoro), aktor kelas teri yang numpang tinggal di Mushala yang tampaknya sedikit ada rasa pada Rika.


Bingung dengan cerita yang tampak terlalu banyak karakter itu? Semoga tidak. Memang banyak sekali karakter yang terlibat di sini. Semuanya mempunyai proporsi cerita yang cukup setara. Jadi kalau misalnya anda tanya siapa pemeran utamanya ya mereka semua itu pemeran utamanya. Semua karakter itu dibungkus dalam satu paket cerita yang pada akhirnya menunjukkan kepada kita apa itu arti toleransi umat beragama. Yang sudah saya tulis di paragraf sebelumnya belum masuk cerita karena itu baru pengenalan karakter. Cerita di film ini lebih dari itu dan sedikit lebih kompleks.

Banyaknya karakter itu memang menghadirkan resiko tersendiri. Butuh waktu lebih dari setengah jam untuk memastikan semua karakter yang ada dapat diterima dan dicerna penonton. Akibatnya setengah jam pertama jalannya film menjadi cukup lambat dan cenderung membosankan. Saya pribadi baru merasa jalan cerita menjadi lebih greng *halah* ketika Surya yang Islam itu harus berperan menjadi Yesus di misa Paskah. Konfliknya mulai terasa. Begitu juga konflik tokoh lain setelahnya. Puncaknya ya saat Soleh yang akhirnya menjadi anggota Banser menyerang restoran Tan Kat Sun dan dilanjutkan saat Soleh menjaga keamanan malam Natal di sebuah gereja. Ini menjadi puncak dari cerita yang sayangnya di-eksekusi dengan sangat jelek. Sebenarnya klimaks yang diangkat dari kisah nyata anggota Banser ini sangat dramatis dan menyentuh, cuma ya itu eksekusi-nya jelek. Sangat maksa dan kurang masuk akal. Penonton yang bareng saya saja sampai geregetan. Untungnya pesan yang ingin disampaikan tetap bisa tersampaikan. Apa dan bagimana? Silahkan tonton sendiri. Saya tak tega untuk menyebar spoiler.

Secara keseluruhan saya sangat puas dengan film ini. Jauh lebih puas daripada film Hanung sebelumnya, Sang Pencerah, yang kurang jelas fokusnya ke mana. Cerita film Tanda Tanya ini sangat dalam. Memberikan perspektif baru pada kita tentang apa itu toleransi antar umat beragama. Tidak usah jauh-jauh dengan tetangga yang berbeda agama, dengan kerabat atau teman dekat saja. Kedekatan emosi itu kadang membuat toleransi jadi jauh lebih sulit. Namun sesulit apapun pasti bisa karena secara naluriah sikap toleran itu ada di setiap manusia. Ketidaktoleranan yang nyata hadir seringkali lebih karena masalah lain, bukan semata agama. Contohnya antara Soleh-Hendri, antara Islam-Kong Hu Chu, yang ternyata lebih karena cemburu. Atau saat Soleh dan kawan-kawan menyerang restoran Tan Kat Sun yang lebih bermotif ekonomi daripada konflik agama.


Tentang para pemeran di film ini, kecuali Endhita yang emosi dan ekspresinya kurang tereksplor, dalam-pandangan-saya-yang-awam-ini mereka sangat kuat memerankan karakternya masing-masing. Yang paling kuat tentu saja Reza Rahardian yang berperan sebagai Soleh. Orang ini saat main film dan FTV benar-benar seperti berubah. Saat main film aktingnya sangat baik. Aktingnya natural dan penjiwaannya dapat. Beda jauh dengan saat di FTV yang cenderung setengah hati. Mungkin memang passion Reza lebih di film. Semoga Reza bisa mempertahankan kualitasnya dan selektif pilih peran. Jangan seperti Lukman Sardi yang terlalu banyak mengambil peran di berbagai film. Aktingnya memang kuat dan berkualitas, tapi kalau terlalu sering tampil penonton kan bosan juga.

Terakhir ada satu lagi komentar saya tentang Banser (Barisan Anshor Serbaguna). Memang ada kesalahan elementer saat Hanung mengisahkan Soleh bekerja sebagi Banser. Banser bukan pekerjaan karena itu salah satu bagian dari unit kepemudaan ormas. Ibaratnya sama seperti pramukalah, sejak kapan ada orang ikut pramuka dibayar. Sangat wajar kalau pimpinan Banser menyatakan keberatannya atas penggambaran Banser di Tanda Tanya. Hanya saja menurut saya itu cuma fragmen kecil dari sebuah cerita, tak perlu diperpanjang. Namanya juga film. Toh pencitraan positif dari Banser juga sangat kuat di sini.
Share

Jumat, 16 Desember 2011

Sisi lain para pengendara selain Transporter



Drive

Jika anda mencari seorang montir, pembalap atau stuntman handal, atau mungkin anda merencanakan sebuah pelarian setelah melakukan kejahatan maka sosok pria satu ini jelas bisa diandalkan, seperti kata bosnya, Shannon (Bryan Cranston), “This kid is special”. Ya, Driver (begitulah ia dipanggil) memang spesial. Laki-laki muda ini adalah tipikal orang yang menjunjung tinggi paham ‘talk less do more’. Ia pendiam, dingin dan tertutup,  jarang mau berbicara dengan orang lain jika dirasa tidak perlu, tapi ia akan selalu melakukan setiap tugas yang diberikan dengan baik. Dan suatu saat ia harus terlibat dalam sebuah misi untuk menyelamatkan Standard (Oscar Isaac), suami dari tetangganya, Irene (Carey Mulligan), ibu muda satu anak yang juga disukainya. Sayang misi perampokan rumah gadai itu berakhir buruk, membuat dirinya kemudian terjebak dalam masalah besar.


Kisah tentang seorang supir jagoan yang kemudian terjebak dalam masalah serius karena jatuh hati dengan seorang wanita, ya, klise memang, Dan seperti ulasan di sebuah majalah, dengan premis seperti itu Drive bisa saja menjadi lanjutan dari franchise Transporter atau Fast and Furious, atau yang lebih parah, action kelas B, tapi ketika mendengar bahwa Drive mampu membuat para kritikus di ajang Cannes bisa bersorak kegirangan, anda harusnya sudah mengetahui bahwa ini bukan film aksi sembarangan, tidak percaya? Tunggu saja setelah 10 menit setelah sutradara arthouse asal Denmark, Nicolas Winding Refn memperkenalkan kita kepada Driver yang membawa dua ‘penumpangnya’ melarikan diri, melakukan permainan ‘petak umpet’ dengan aparat berwajib melalui jalan-jalan temaran kota L.A , anda akan menemukan opening credit yang tidak biasa, dihiasi dengan tulisan bewarna merah jambu terang dengan iring-iringan musik  europop seperti  kebanyakan film-film aksi 80an, dari titik ini Drive ini kembali menegaskan bahwa ia memang bukan film aksi konvensional.

Sebelum Drive, Valhalla Rising adalah  satu-satunya film Refn yang pernah saya tonton, film yang bagus, tapi jujur sangat berat untuk dikonsumsi, sebuah arthouse medieval yang rumit, sureal sekaligus indah. Dan beruntung saja Drive tidak berakhir seperti itu. Seperti yang sudah saya katakan di atas, ia memiliki premis yang sebenarnya klise, walaupun pada kenyataannya kisahnya sendiri sudah digubah oleh Hossein Amini dari novel berjudul sama karangan James Sallis, tapi menjadi luar biasa ketika Refn menyugguhkan Drive dengan teknis sinematik tingkat tinggi, mendobrak segala aturan-aturan Hollywood, termasuk  memberikannya pengaruh old school yang kental pada setiap framenya, tidak hanya itu Hossein Amini juga cukup cerdas meramu segala keklisean premisnya menjadi sebuah sugguhan aksi drama yang efektif, tidak seperti aksi-aksi heroik ala Hollywood yang kemudian menekankan semua aksi dasarnya pada letupan-letupan dan chaos dimana-mana, jadi meskipun walaupun terasa lambat ia tidak pernah mencapai titik membosankan, belum lagi ditambah munculnya sub-plot romansa antara Driver dan Irene yang menjadi pemicu terjadinya konflik utama serta  beberapa kejutan menarik dalam perjalannya menuju finish nanti.


Saya menyukai bagaimana Refn ‘bermain-main’ dengan kamerannya, menciptakan sudut pandang tidak bisa, pencahayaan kontras antara siang dan malam, pantulan-pantulan bayangan, sampai pemandangan kota L.A yang diambil dari atas bukan hanya mempesona namun juga sarat emosi. Refn tidak pernah membiarkan filmnya terjebak dalam dialog yang terlalu panjang, sebaliknya ia memilih bentuk komunikasi ‘sunyi’ yang hanya mengandalkan tatapan mata atau senyuman kecil penuh makna, lihat saja adegan romantis disaat Driver menatap tulus Irene, atau disaat ibu muda itu memengang lembut tangan sang ‘supir’, atau adegan lift yang juga menjadi adegan paling hebat dan paling romantis disini. Ya, dari momen-momen itu kita tahu baha Refn memang sangat lihai mengeksploriasi emosi manusia yang terpancar dari raut wajah dan bahasa tubuh mereka tanpa menjadi terlalu sentimentil.


Seberapapun artistiknya film ini tersanji, Refin juga tidak pernah melupakan bahwa Drive adalah sebuah film aksi, dan untuk menegaskannya ia memasukan beberapa sekuens pemacu adrenalin didalamnya, tidak banyak memang, namun semuanya digarap rapi dan begitu efektif memberi sebuah ketengangan yang mengasyikan, dari mulai kebut-kebutan jalan raya yang memperlihatkan kelihaian Driver mengemudi sampai adegan kepala pecah ala Gaspar Noé yang sadis dan berdarah-darah, semua ini kemudian masih dibungkus oleh scoring dan soundtrack yang tidak kalah kuatnya dari Cliff Martinez.

Dan untuk melengkapi ‘suku cadang’ dari ‘mesin’ Drive maka ada  jajaran pemainnnya yang solid, dan diantara semuanya Ryan Gosling adalah bintang utama disini. Ya, Gosling membawakan perannya dengan sangat baik, karakternya yang sedingin es, nyaris tanpa emosi dari luar itu terpancar kuat dari tatapan matanya yang tajam, tanpa latar belakang ia bak seorang anti-hero karismatik-misetrius yang tidak pernah tanggung-tanggung bergerak, namun disisi lain Refn juga memberinya kehangatan dan cinta dibalik permukaannya yang keras itu disaat ia bertemu dengan Irene, karakter ibu muda tabah yang juga dimainkan apik oleh Carey Mulligan. Jika ada yang bisa menandingi pesona Gosling disini mungkin itu adalah seorang Albert Brooks yang memerankan Bernie Rose. si bos mafia.

Sepertinya saya tidak terlalu berlebih menobatkan Drive sebagai salah satu yang terbaik tahun ini. Nicolas Winding Refn sudah membuat film aksi cerdas, artistik, brutal dan juga begitu emosional dengan gayanya sendiri yang tidak biasa dan menyegarkan ditengah hamparan mainstream Hollywood yang selama ini menawarkan sesuatu yang itu-itu saja, dan bukan hanya itu, Refn juga telah melahirkan sosok anti-hero baru dalam diri Ryan Gosling, sebagai seorang supir jagoan yang tidak hanya keren, tapi juga tidak pernah tanggung-tanggung dalam menjalankan aksinya.
Share

Nyata dan bertabur bintang...


Contagion

Saya pernah mengalami chicken-phobia dalam bahasa saya karena banyak sekali kasus ayam mati mendadak dengan tanda-tanda awal flu, demam dan sakit kepala (kata iklan)… dan ayam pertama yang terlihat secara nyata adalah ayam yang dipelihara ayah saya disamping rumah. Beruntung penanganan tepat membantu ayah saya keluar dari krisis kehilangan ayam-ayam yang lain. Sejenis itulah penggambaran kisah Contagion yang dipenuhi beragam bintang dengan keseluruhan karakter yang tertata apik untuk menghadirkan film bertipe medical disaster disini.


Meteor, epidemik zombie atau vampir, sampai serangan robot-robot cybernetik masa depan  mungkin tidak ada yang menandingi  premis dari thriller bencana teranyar milik Steven Soderbergh  satu ini. Judulnya saja sudah sangat jelas, ia akan yang mengisahkan wabah luar biasa dari virus flu jenis baru, misterius dan mematikan, disebut dengan istilah medis  Meningoencephalitis Virus One (MEV-1). Ya, Contagion menjadi terasa mengerikan karena  ‘kiamat’ ala Soderbergh ini bisa jadi salah satu model kiamat yang paling mendekati realita, lihat saja  SARS, H1 N1 sampai flu burung yang sempat menghebohkan dunia itu, MEV-1  juga memiliki tipe dan cara penyebaran yang kurang lebih sama, hanya saja ia memiliki daya bunuh jauh melebihi koleganya itu dan belum ada penawarnya.


Sejak hari pertama ia ditemukan, MEV-1 sudah banyak membunuh manusia dan menjangkiti ribuan lainnya, seperti salah satunya ada Beth Emhoff (Gwyneth Paltrow), istri dari Mitch, (Matt Damon) ini adalah salah satu manusia pertama yang harus merasakan keganasannya. MEV-1 kemudian menjalar dengan cepat ke hampir seluruh penjuru dunia, membunuh pengidapnya dalam hitungan hari, menyebarkan kepanikan hebat yang bahkan lebih cepat dari virus itu sendiri serta membuat sibuk para pihak CDC ( Centers for Disease Control and Prevention) dan WHO  (World Health Organization) untuk segera mengontrol penyebarannya, mencari ‘ground zero’ dari MEV-1 dan antivirus sebelum semuanya berakhir terlalu buruk.

Oke, jujur saja premis Contagion membuat saya bergidik karena apa yang yang terjadi di sepanjang 106 menit durasinya jelas mengerikan dan bisa saja terjadi kepada kita kapan saja dengan presentase yang jauh lebih besar daripada asteroid besar menghantam bumi apalagi outbreak para mayat hidup. Ya, Contagion seakan-akan ingin memperingatkan bahwa kesehatan itu mahal harganya atau untuk berpikir dua kali sebelum berjabat tangan dengan orang lain, menyentuh ganggang pintu atau makan kacang sembarangan. Harus diakui Soderbergh dan penulis naskah Scott Z. Burns telah mengerjakan pekerjaan rumahnya dengan sangat baik, melakukan riset luar biasa, menghadirkan ‘kiamat’ versinya dengan sangat meyakinkan dan terasa realistis tanpa banyak mengobral dramatisasi atau tindakan heroisme berlebihan. Yah, anggap sajalah ini seperti sebuah simulasi akurat tentang pandemi global dari bagaimana MEV-1 berasal, bagaimana cara penularan dan perkembangannya, sampai bagaimana tindakan yang dilakukan para petinggi-petinggi kesehatan dunia menghadapi bencana mengerikan itu lengkap dengan istilah-istilah medis rumit, proses pembuatan antivirus yang kompleks yang mungkin hanya dimegerti para pakar kesehatan sampai penggunaan banyak plot, banyak karakter dan banyak lokasi seperti yang pernah dilakukan Soderbergh di Traffic dalam rangka menggambarkan bagaimana dampak luar biasa yang ditimbulkan oleh virus flu mematikan itu, tidak ketinggalan bagaimana  kekacauan dan kepanikan hebat masyarakat dunia sebagai dampak lain yang ditimbulkan MEV-1 yang semakin diperkuat dengan iring-iringan musik latar menegangkan dari Cliff Martinez.


Ada banyak pemenang Oscar bertaburan disini, tapi hebatnya Soderbergh tidak membuat ensemble cast miliknya itu terkesan terlalu glamor seperti pada trilogi Ocean. Tidak semua memang mendapatkan porsi yang seimbang, tapi hampir semuanya mendapat perlakuan yang baik dari Soderbergh, termasuk  peran-peran kecil dan sebentar  yang dibawakan Gwyneth Paltrow, Marion Cotillard dan John Hawke mampu menghadirkan simpati dan emosi sama besarnya dengan karakter-karakter lain seperti Kate Winslet, Matt Damon, Laurence Fishburne, Jude Law dan Jennifer Ehle.


Dengan balutan realisme kental yang kelewat serius, minim dramatisasi dan heroisme Contagion mungkin bukan tipe thriller bencana yang menyenangkan untuk  penonton santai yang mencari hiburan. Naskahnya sendiri juga tidak sedalam Traffic, tapi  harus diakui Soderbergh sudah melakukan pekerjaannya dengan bagus, rapi dan sangat menyakinkan dalam mensimulasikan kiamat mengerikan versinya itu dengan dukungan bintang-bintang kelas 1 nya yang bermain bagus, yah, setidaknya Contagion sudah berhasil memperingatkan saya untuk sering-sering mencuci tangan.
Share

Jembatan runtuh bergambar tengkorak...


Final Destination V


Tahukah kita manusia yang paling psikopat diantara manusia? Ya manusia itu sendiri. Aneh kan? Manusia itu memang mahluk aneh, lihat saja, kebanyakan dari mereka sebenarnya takut pada kematian, tapi ironisnya mereka juga terlihat begitu senang menonton manusia lain mati mengenaskan, bahkan kalau perlu untuk menambah kenikmatan menonton disajikan sedahsyat mungkin, dalam format 3D kalau perlu, ‘sakit’? Ya, memang kita ‘sakit’, dan pihak New Line Cinema tampaknya tahu benar bagaimana memanfaatkan fenomena ‘aneh’ itu untuk tetap kukuh dan begitu percaya diri melanjutkan wara laba horor supranatural terlaris mereka hingga instalemen yang kelima ini, tidak peduli banyak yang pesimis bahwa seri terbaru mereka ini akan bisa lebih baik dari para pendahulunya, toh, pada akhirnya semuanya tetap kembali ke masalah jumlah Dollar yang masuk.


Jadi apa saja yang ada dalam Final Destination 5? Pembukaan yang dimulai dengan ‘penampakan’ sebuah kecelakaan mengerikan? Ada; rentetan momen ‘pembunuhan’ sadis dan tak masuk akal oleh kematian yang tidak senang dicurangi? Ada;  3D? Ada; dan semakin hebat saja, para pemain muda cantik dan tampan? Ada; untuk bonusnya anda akan melihat sosok “Tom Cruise” mati konyol disini, oh, ya ada Tony ’Candyman’ Todd yang kembali hadir paska absen pada seri keempatnya. 


Ya, seperti yang sudah-sudah tidak ada yang berubah drastis dalam seri ke limanya ini, Steven Quale sang sutradara masih setia memakai formula ‘usang’ yang masih terbukti sangat efektif untuk menghibur penontonnya dengan menampilkan lebih banyak lagi adegan kematian menyakitkan, cipratan darah dimana mana, dan potongan tubuh mengerikan dengan cara yang paling canggih, termasuk dengan memaksimalkan efek 3D nya yang terlihat makin yahud, lihat saja adegan awal yang melibatkan peristiwa runtuhnya sebuah jembatan, wow……., itu keren, mungkin menjadi adegan pembuka terbaik dari seluruh franchise film ini, dan dengan adegan kecelakaan jalan tol di seri kedua serta adegan roller coaster di seri ketiga berturut-turut tepat berada dibawahnya.


Soal kualitas cerita, mengejutkan juga ketika mengetahui bahwa Final Destination 5  ternyata tidak sampai seburuk seri keempatnya, setidaknya Eric Heisserer yang ditugaskan untuk menggodog naskahnya masih mampu menghadirkan sebuah kejutan hebat di endingnya, kejutan yang mampu menandingi rangkaian momen kematiannya dan kejutan yang juga secara tidak langsung akan menjelaskan wujud asli dari Final Destination 5. Apabila anda cukup jeli, akan ada banyak petunjuk yang tersebar di sepanjang kurang lebih satu setengah jam, termasuk beberapa referensi dari seri pendahulunya yang sedikit banyak akan menjawab endingnya nanti.

 
Menyenangkan mengetahui bahwa Final Destination 5 ternyata tidak seburuk perkiraan saya sebelumnya. Ya, selain masih menghadirkan kematian-kematian yang kreatif, canggih dan menghibur, termasuk bagaimana efek 3D nya yang mampu digarap dengan sangat baik, instalemen kelima dari saga ‘mencurangi kematian’ ini rupanya juga menyimpan kejutan yang tak disangka-sangka di penghujung ceritanya, kejutan yang sedikit banyak telah mampu mengurangi cerita dan akting pemainnya yang lemah. So, Final Destination 6? Kenapa tidak jika mampu membuat kite lebih merinding. Mungkin….



Share

Penonton kuciwa....


Dream House (2011)


Will Atenton (Daniel Craig), publisher buku terkenal memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya yang menjanjikan. Semuanya dilakukan untuk memberikan perhatian lebih besar kepada keluarganya. Maka kemudian ia membeli sebuah rumah sederhana yang terletak  di pinggir kota New Englad yang tenang dan sepi untuk memulai kembali hidupnya bersama istrinya tercintanya, Libby (Rachel Weisz) dan dua putri kecilnya sembari merintis karir baru sebagai penulis novel. Yang kemudian tidak diketahui oleh Will dan keluarganya, adalah rumah impian mereka itu rupanya menyimpan sebuah sejarah kelam dibalik aroma cat baru, kehangatan perapian dan ruang-ruang nyamannya. Ya, ada cerita tentang pembunuhan mengerikan yang terjadi pada pemilik sebelumnya termasuk  misteri mengejutkan, dan sepertinya hanya Ann Paterson (Naomi Watts), tetangga mereka yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.


Dream House awalnya sangat menjanjikan sebagai prototype keluarga bahagia modern yang akan mulai memasuki masa mencekam. Ada pasangan suami istri Daniel Craig dan Rachel Weisz yang mengawali kisah asmara mereka disini, keduanya ditemani Naomi Watts untuk membintangi film terbaru milik sutradara sekaliber Jim Sheridan. Yap, dengan berbekal jajaran cast kelas ‘A’ dan sutradara sehebat itu Dream House seharusnya memiliki potensi untuk menjadi tontonan horor-thriller misteri psikologis yang bagus; tidak peduli bahwa ia adalah debut penyutradaraan horor buat Sheridan yang selama ini kebanyakan menggarap genre drama, atau mungkin premisnya yang terlihat pasaran, pastinya saya sudah terlanjur berharap banyak Dream House akan se-berkualitas karya Sheridan yang lain, sayang hal itu tidak terjadi.


Dream House memang mengecewakan, padahal ia dibuka dengan meyakinkan dengan aroma kehangatan drama keluarga kental khas Sheridan yang dihadirkan bak sebuah mimpi bersama, chemistry kuat antara Craig-Weiz plus dua aktris ciliknya yang mengemaskan,  namun pada perjalanannya ia kedodoran dan terus mengalami penurunan kualitas hingga berakhirnya nanti. Naskahya membingungkan, seperti tidak tahu mau berjalan ke arah mana, apa mau memfokuskan kepada konflik psikologis karakter Craig atau masalah rumah ‘angker’ itu? Tidak ada ketegangan yang terlalu berarti layaknya sebuah film thriller, penonton dibuat bingung membedakan antara kenyataan dan halusinasi karena semuanya bercampur aduk tidak jelas tanpa batasan yang jelas, bahkan keberadaan twist yang diselipkan di pertengahan film pun terasa ‘basi’, menghancurkan beberapa ide yang sebenarnya menarik. Ya, saya jamin untuk twist itu anda dengan mudah menebaknya sejak menit awal bergulir karena Sheridan terlalu mudah memberikan petunjuk-petunjuknya dan kemudian menjawabnya seendiri, seakan-akan ia menganggap penontonnya seperti orang yang harus dituntun untuk mencari jawabannya.

Ini mungkin yang terburuk dari Sheridan, tapi hasilnya bisa jadi akan berbeda andai saja pihak Morgan Creek tidak pernah turut campur tangan dalam urusan naskahnya. Ya, konon terjadi perselisihan antara Sheridan dan Morgan Creek selaku studio produksi yang berujung dengan tidak pernah digunakannya naskah Sheridan yang dirasa tidak komersil itu. Ironisnya perubahan yang dilakukan sepihak tersebut ternyata juga tidak membuahkan hasil berarti, selain filmnya sendiri banyak dicerca di sana sini termasuk oleh Sheridan, Craig dan Weisz sendiri yang sampai-sampai tidak mau mempromosikannya,  hasilnya box-offiicenya pun anjlok, menjadikannya salah satu horor-thriller paling mengecewakan tahun ini.

Share

COLIN FARRELL IN WAY BACK


WAY BACK

JALAN kaki 4000 mil (6400 km)? Siapa yang bisa? Ada dan nyata karena film ini diangkat dari memoir nyata mantan tentara Polandia. Mereka yang tangguh itu adalah para tahanan Soviet di Siberia yang tanpa rencana matang melarikan diri dari penjara menuju negara yang lepas dari cengkeraman diktator Stalin. Dari Siberia yang bersalju berlanjut melintasi Gurun Gobi yang kering sampai melintasi Pegunungan Himalaya semua dilakukan dengan jalan kaki. Dari Siberia berakhir di India, sebuah perjalanan yang amat sangat luar biasa jauh dan melelahkan tentunya. Sebagai bahan perbandingan untuk mengira-ngira seberapa jauh perjalanan itu, jarak Sabang-Merauke ujung timur dan barat Indonesia itu baru 5000 km. Jadi silahkan bayangkan sendiri bagaimana perjalanan 6400 km alias 4000 mil ini.

           Adalah Janusz tentara Polandia yang oleh Soviet dituduh menjadi mata-mata Nazi. Perang yang terjadi sebenarnya antara Jerman dan Polandia. Namun karena Polandia dikuasai Soviet, pasukan Soviet-lah yang ada di balik layar Polandia. Dengan kondisi perang, ditambah penguasa diktator ambisius menginvasi dan mempertahankan wilayah maka curiga dan fitnah menjadi hal yang lumrah. Janusz dituduh menjadi mata-mata Nazi dan dihukum di penjara terpencil di Siberia.

Di penjara Janusz bertemu Khabarov, aktor yang dipenjara hanya karena terlalu simpatik saat berperan sebagai bangsawan. Dengan kondisi penjara yang tak karuan ditambah kerinduan dan ketakutan sang istri menjadi bulan-bulanan tentara Stalin, Janusz berkeinginan untuk kabur dari penjara. Niat itu didukung Khabarov yang memberi petunjuk Janusz sebaiknya mereka ke Mongolia di selatan melalui Danau Baikal. Sepengetahuan Khabarov, Mongolia aman dari jajahan Stalin. Sejumlah tahanan yang berasal dari berbagai negara dengan karakternya masing-masing sepakat untuk kabur bersama Janusz. Namun Khabarov sebagai pengusul utama tidak ikut karena menurutnya persiapannya tidak memadai. Akan mati konyol katanya kalau kabur tanpa persiapan.

Janusz dan enam rekannya yang lain kabur di suatu malam memanfaatkan momen badai salju yang bisa menghapus jejak mereka. Mereka lari lintas hutan dan hanya tersisa 6 orang saja karena salah satu tahanan mati kedinginan tak tahan menghadapi badai salju. Dengan berjalan kaki mereka melanjutkan menyusuri hutan. Tentu saja banyak terjadi krisis di tengan perjalanan, dan yang utama adalah makanan dan stress yang mulai melanda para pelarian itu. Danau Baikal yang menjadi acuan perjalanan pertama mereka tak kunjung ditemukan. Namun dengan penuh perjuangan mereka bisa mencapai Danau Baikal. Di sana rombongan bertambah satu orang wanita bernama Irene. Dia yatim piatu yang ingin melarikan diri dari Rusia juga. Sempat ditolak karena takut akan menghambat perjalanan, Irene akhirnya diterima sebagai bagian dari rombongan.

Jauh-jauh melintasi hutan dengan berbagai rintangan ternyata sesampainya di Mongolia daerah itu juga sudah dikuasai Stalin. Itu di luar rencana mereka. Sempat bimbang mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju India. Sebuah perjalanan lanjutan yang amat sangat sulit karena dua rintangan besar berlawanan siap menghadang, Gurun Gobi yang kering dan Pegunungan Hilamaya yang dingin. Di sini ketahanan fisik dan mental mereka diuji. Pada akhirnya tidak semua rombongan bisa sukses dalam perjalanan ini. Banyak yang kalah dengan alam. Hanya 4 orang saja yang tersisa dan hanya 3 orang yang sampai India.

Film ini boleh saya katakan luar biasa. Kita dibawa untuk turut merasakan betapa beratnya perjalanan lintas alam ini. Sutradara dan kawan-kawan berhasil mengeksplorasi ganasnya alam dengan baik. Salut untuk visi sutradara dan kameramen yang berhasil memvisualkan alam sepanjang Siberia-India dengan sangat amat bagus. Konflik yang paling kena menurut saya saat di Gurun Gobi. Banyak sekali konflik psikis yang terjadi di sini. Bahkan dari awal ketika hendak menyeberangi Gurun Gobi konflik psikis itu sudah mulai muncul karena ada keraguan bisakah mereka melintasi gurun itu. Saat menemukan sumur dan harus pergi konflik psikis juga terjadi lagi karena untuk apa pergi ke ketidakpastian atau menjemput ajal sementara di sini ada sumur yang bisa memelihara hidup mereka. Namun konflik yang terberat tentu ketika satu per satu anggota harus mati karena tumbang menghadapi keganasan alam.

Di satu sisi eksplorasi susahnya para pelarian itu memang menghadirkan epik yang luar biasa, namun sebagai akibat ada elemen penting yang menjadi tak tergali di sini. Apa itu? Karakter pemain. Praktis kita hanya tahu siapa para pelarian itu dan dari mana mereka berasal. Tidak ada info lebih selain itu. Akibatnya ada yang mengatakan film ini kering secara emosi. Penonton tidak dibawa untuk menjadi bagian dari mereka yang lari itu melainkan hanya sebagai penonton untuk merasakan apa yang mereka rasakan.
Saya pribadi agak sependapat dengan itu, namun dengan bahasa yang lain yaitu kedalaman karakter pemain. Mungkin ketidakdapatan emosi itu karena saking banyaknya karakter yang ikut dalam pelarian ini. Total ada 8 orang. Jika harus memberikan sentuhan emosi pada masing-masing mereka tentu akan menjadi sangat panjang. Itu kenapa praktis hanya Janusz yang menjadi fokus, yang karakternya paling dalam diketahui. Tentang banyaknya karakter itu sebenarnya juga satu titik lemah yang lain. Saya yakin selain Janusz, Mr, Smith dan Irene, karakter yang lain namanya tidak dihapal oleh para penonton. Saya pribadi hanya tahu Janusz yang selamat sampai India. Dua orang yang lain entah siapa namanya. Karakter-karakter selain Janusz seolah hanya tempelan saja. Padahal sebenarnya mereka semua setara.

Kemudian ada satu yang sayang luput dari sutradara maupun editor. Tidak disebutkan perjalanan panjang itu dimulai dari kapan dan berakhir kapan. Memang secara visual kita diperlihatkan lamanya perjalanan dengan misalnya jenggot yang tumbuh luar biasa lebat dan rambut yang gundul sampai tumbuh cukup panjang. Namun menurut saya ada baiknya penonton diberitahu berapa lama perjalanan itu. Toh di ending juga disebutkan tahun ketika komunisme hilang dari Polandia dan Janusz pulang ke rumahnya. Untuk kesempurnaan…hihihi...
Description: D:\universitas\Auditing_Information_Systems_Second_Edition\Dokumen Kuliahan SEM 1,3,5,2,4\KI_temp\Alkaf Review – The Way Back (2011)  Epik yang Luar Biasa « Alkaf Movie_files\b.gif
Namun overall itu hanya sedikit cacat kecil saja. Secara keseluruhan film ini sangat bagus dan direkomendasikan. Seperti yang dikatakan Joe Bendel dari The Epoch Times, “The Way Back” mungkin kisah sulitnya kehidupan di antara berbagai elemen, tetapi sebenarnya merupakan bagian dari tragedi buatan manusia yang lebih besar. Weir sang produser, sangat mampu mengungkapkan rumah menjadi titik akhir yang menggugah. Film ini dibuat dengan sangat halus, drama manusia yang emosional dan layak dipertimbangkan memperoleh penghargaan.
Share

Sabtu, 26 November 2011

Itu Kawan Bukan Lawan, Students !!


Semua kembali ke tema awal STOP BuLLYing

Resensi sepotong Langit Biru. Film Langit Biru yang baru rilis tanggal 17 November 2011 ini hadir di tengah maraknya kasus Bullying yang terjadi di sekolah-sekolah, dari SMA hingga tingkat SD sekalipun. Mengangkat tema yang sama juga, yaitu tentang kekerasan yang terjadi di sekolah-sekolah, penonton seakan diingatkan kembali bahwa kasus kekerasan seperti ini belum tuntas diberantas sampai ke akar-akarnya.

Dengan tema anti bullying dan anti kekerasan yang ingin dibawakan film ini, Melissa Karim mampu memulai jalan cerita film ini dengan cukup baik. Pada awalnya memperkenalkan tiga karakter protagonis utama yang menjadi fokus jalan cerita film ini, bagaimana latar belakang kehidupan mereka serta bagaimana keseharian mereka dimulai, Langit Biru juga secara perlahan mulai memasukkan konflik yang dihadapi oleh Biru, Amanda dan Tomtim dengan Bruno dan teman-temannya. Dirangkai dalam sebuah jalinan cerita yang memiliki ikatan unsur hiburan yang kuat, serta semakin dipermanis dengan lagu-lagu yang terdengar cukup catchy dan ditampilkan dengan menggunakan tata koreografi yang menarik, bagian perkenalan awal penonton terhadap kisah awal Langit Biru harus diakui akan meninggalkan cukup banyak kesan.
Ratnakanya Pinandita yang berperan sebagai Biru adalah sosok yang membuat kita sadar bahwa tindak kekerasan di sekolah, sekecil apapun itu tindakannya tidak dibenarkan. Film ini menceritakan mengenai tindakan Bruno yang diperankan oleh Cody Mcclendon salah satu murid yang paling ditakuti di sekolah yang selalu berbuat kasar kepada teman-temannya, salah satunya Tomtim, sahabat Biru. Bruno memiliki peran penting dalam film ini karena Ia-lah yang sebenarnya menjadi objek dari film ini. Tindakan-tindakan kasarnya itulah yang membuat Biru, Tom-tim, dan Amanda tertarik untuk mengangkatnya menjadi bahan presentasi tugas sekolah.

Dalam Langit Biru, Tomtim (Jeje Soekarno) merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki bakat luar biasa dalam hal menggambar. Dalam kesehariannya, Tomtim dapat ditemui sedang berkumpul bersama dua sahabatnya, Biru (Ratnakanya) dan Amanda (Beby Natalie). Selalu menghabiskan kesehariannya dengan dua teman perempuannya, Tomtim kemudian menjadi sasaran bulan-bulanan Bruno (Cody McClendon) di sekolahnya. Yang lebih parah, Tomtim sama sekali tidak memiliki keberanian untuk melawan dan seringkali menunggu untuk ‘diselamatkan’ dan dibela terlebih dahulu oleh teman perempuannya, Biru.

Bruno memiliki genk cowok macho yang terdiri atas Samuel, Jason, dan Erlangga. Mereka merasa kalau genk mereka adalah genk yang paling kuat dan benar. Padahal mereka tidak pernah tahu bahwa sebenarnya tindakan-tindakan bully mereka sangat mengganggu ketenangan teman-teman yang lain. Di sini Brunolah yang menjadi sorotan karena memang dialah pemimpin genk ini. Tomtim bukanlah satu-satunya korban kejahilan dan kenakalan Bruno beserta tiga teman akrabnya, Jason (Patton Otlivio), Samuel (Nathan Carol) dan Erlangga (Jonathan Prasetyo). Di sekolahnya, keempat anak ini memang dikenal sebagai biang permasalahan. Merasa tidak tahan lagi melihat perlakuan Bruno dan teman-temannya, Biru akhirnya mengusulkan pada Amanda dan Tomtim untuk memanfaatkan sebuah proyek yang diberikan guru mereka, Miss Dewi (Becky Tumewu), untuk mengungkap semua seluruh tindak-tanduk kenakalan Bruno di sekolah.

Biru, Amanda dan Tomtim memang dapat dengan mudah untuk merekam seluruh perbuatan nakal Bruno dan teman-temannya di sekolah. Namun, ketika mereka berusaha untuk memasuki kehidupan Bruno lebih mendalam, sebuah kenangan pahit yang telah lama disimpan oleh Bruno rapat-rapat pun akhirnya mulai terbuka. Gayanya yang urakan dan ‘bengis’ ternyata berbanding 180 derajat dengan sikapnya ketika di rumah. Ternyata Bruno adalah anak yang patuh terhadap ibunya –karena ayahnya sudah meninggal dan ia pun sangat sangat terhadap adiknya, Holly yang menderita Down Syndrome. Hal tersebut membuat Bruno dan Ibunya harus bergantian menjaga Holly. Perbedaan sikap Bruno ini akhirnya diketahui oleh Biru dan kawan-kawan karena mereka selalu mengikuti Bruno sampai ke rumahnya. Tidak hanya itu, ternyata Bruno adalah kakak pembimbing atau pelatih dance di tempat dance Brandon, adik Amanda. Dari testimony pelatih yang lain dan Brandon, diketahuilah bahwa sikap Bruno tidaklah sama dengan sikapnya di sekolah.

Sayangnya, hal tersebut tidak begitu bertahan terlalu lama. Seiring dengan berjalannya cerita film ini, Langit Biru kemudian memperdalam lagi latar belakang kehidupan setiap karakter yang hadir di dalam jalan ceritanya. Semakin banyak intrik cerita dan semakin banyak kehadiran karakter-karakter pendukung. Secara perlahan, beberapa karakter yang tadinya hadir dalam porsi yang cukup banyak menghilang dan digantikan oleh kisah-kisah yang datang dari karakter pendukung. Disinilah pola penceritan Langit Biru terasa begitu terpecah. Masuknya beberapa plot cerita tambahan yang sama sekali tidak terkait dengan plot cerita utama – seperti keikutsertaan karakter adik Amanda, Brandon (Brandon De Angelo), dalam sebuah kontes menari yang ditampilkan secara panjang atau kisah romansa ramaja yang mulai tumbuh antara karakter Amanda dengan karakter Jason – juga membuat penceritaan Langit Biru terasa semakin bertele-tele.

Karakter-karakter anak yang terdapat di dalam jalan cerita Langit Biru diperankan oleh aktor dan aktris muda yang mungkin belum pernah atau masih minim mendalami dunia akting. Untungnya, di bawah pengarahan sutradara Lasja F. Susatyo, para aktor dan aktris muda tersebut tampil cukup maksimal, baik ketika berusaha untuk menghidupkan peran mereka, mengucapkan barisan-barisan dialog yang harus mereka ucapkan atau menampilkan koreografi dari lagu-lagu yang mereka tampilkan. Ratnakanya yang berperan sebagai Biru tampil dengan kemampuan akting yang paling maksimal ketika ia berhasil mengeksplorasi seluruh emosi yang harus dijalani karakter yang ia perankan. Pun begitu, beberapa kali masih terasa tercipta suasana awkward yang dapat dirasakan dalam permainan akting setiap aktor dan aktris muda tersebut, walaupun hal tersebut sama sekali tidak dapar dianggap sebagai sebuah masalah yang besar dan mengganggu. Departemen akting Langit Biru juga diperkuat oleh penampilan aktor dan aktris senior seperti Ari Wibowo, Donna Harun hingga Ira Duaty juga cukup mampu menambah kokoh kekuatan penampilan akting di film ini.

Tidak seperti kebanyakan film musikal anak Indonesia lainnya – yang terlihat kesulitan untuk menyeimbangkan antara penceritaan drama dan penceritaan musikal di dalam jalan ceritanya – Lasja F. Susatyo berhasil menampilkan elemen musikal pada Langit Biru dengan menarik dan dalam porsi yang cukup, tidak kurang dan tidak berlebihan. Lagu-lagu yang ditampilkan secara keseluruhan juga menarik, dan semakin terkesan catchy setelah ditampilkan dalam balutan koreografi yang handal. Kekurangan Langit Biru memang terletak pada naskah ceritanya yang bergerak semakin melebar seiring berjalannya cerita film ini. Hasilnya, dengan tema tunggal yang sebenarnya telah diemban semenjak awal, penceritaan Langit Biru malah berakhir dengan kesam bertele-tele. Pun begitu, Langit Biru masih cukup menarik untuk disimak, khususnya dengan adanya dukungan akting para pemerannya yang tidak mengecewakan serta kualitas tata produksi yang mampu menghasilkan tata gambar dan suara yang meyakinkan.

Secara garis besar cerita ini sangat mudah diterima dan sangat menghibur. Banyak pesan penting yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah Stop Bullying, kawan itu bukan lawan, tetapi orang yang dapat dijadikan tempat untuk berbagi masalah, kesulitan, maupun kesenangan. Satu lagi, entah mengapa menonton film ini mata saya tidak habis-habisnya menahan airmata. Ada beberapa adegan yang ‘menyentil’ mata. Salah satunya adalah ketika Biru selalu mengingat masa-masa indahnya dengan Sang Ibu –yang sudah meninggal ketika masih kecil. Saya sangat bersyukur masih memiliki orangtua yang lengkap meskipun hingga kini masih saja belum mampu membahagiakan keduanya.

Share